Check Our Latest Update

Soal Reading Bahasa Inggris Ujian Sekolah & VIERA / TOEIC Preparation - Volume 2

Direction: Choose the best answer to the questions Boy : What are you going to do after completing your study? Are you going to the unive...

Home Miscellanous Nasionalisme Setelah 65 Tahun Indonesia Merdeka

August 17, 2010

Nasionalisme Setelah 65 Tahun Indonesia Merdeka

Nasionalisme Setelah 65 Tahun Indonesia Merdeka
Suatu pagi dalam sebuah upacara bendera di sekolah, saat pengibaran bendera Merah Putih sedang berlangsung dan hampir seluruh peserta upacara memberikan hormat kepada bendera nasional kita, banyak di antara siswa, baik putra maupun putri, tampak bergurau dan tertawa cekikikan, seolah sang Dwi Warna tidak memiliki arti apa-apa.

Ketika hal itu saya utarakan kepada seorang teman yang juga guru dari daerah dan sekolah lain, jawaban yang saya terima justru lebih mengejutkan. Dia berkata, "Di tempat saya, jangankan murid, gurunya pun asyik bergurau dan ngobrol saat penghormatan bendera berlangsung." Menyedihkan bukan?

Hal ini cukup jauh berbeda jika dibandingkan dengan masa ketika saya masih duduk di bangku sekolah. Setiap kali bendera Merah Putih sedang dikibarkan dalam upacara bendera, bisa dikatakan seluruh peserta termasuk murid-murid yang bisa dibilang bandel sekalipun segera memberikan penghormatan dengan khidmat. Bahkan seorang teman pernah berkata bahwa dia selalu merasa sedih setiap hening cipta karena dia selalu teringat wajah seorang pahlawan yang gugur dalam perang kemerdekaan yang pernah dilihatnya dalam film dokumenter di TV.

Nasionalisme Setelah 65 Tahun Indonesia Merdeka
Itu dulu. Sekarang? Kalimat "Untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur demi kemerdekaan Indonesia, ...." bagi telinga kita tak ubahnya bagai suatu kalimat klise sebagai bagian dari rutinitas wajib yang tak bermakna. Mari kita ingat lagi, apakah yang sedang kita pikirkan saat kita menundukkan kepala dan mengheningkan cipta? Apakah kita benar-benar merenungkan betapa besar pengorbanan dan jasa para pahlawan bangsa demi kemerdekaan dan kedaulatan negara? Apakah kita pernah memikirkan betapa beruntungnya kita yang terlahir dan hidup di alam merdeka tanpa harus berjuang mengangkat senjata dan mempertaruhkan nyawa di antara desingan bom dan peluru?

Saya pernah merasa kecewa sekaligus sedih ketika dalam sebuah curah pendapat di Facebook, seorang mahasiswa yang aktif dalam sebuah organisasi agama melontarkan pemikiran yang secara tidak langsung menafikan keberadaan negara dan pemerintahan Indonesia. Secara singkat, saya bisa meraba bahwa baginya tidak ada nasionalisme dalam agama.

Pada umumnya, kehidupan bermasyarakat dan bernegara di era modern seperti sekarang memang bisa dikatakan sudah jauh dari semangat kebersamaan dan nasionalisme yang dulu pernah menjadi motor penggerak perjuangan para pahlawan kita. Konsep wawasan kebangsaan semakin pudar dan tenggelam dalam hiruk pikuk era globalisasi.

Jangan merasa kaget ketika dalam sebuah reality show TV swasta, seorang artis penyanyi bertubuh montok dan sexy tidak bisa lagi menyanyikan lagu-lagu nasional yang dulu pernah dihapalnya di bangku SD. Jangan pula merasa heran kenapa anak-anak SD jaman sekarang tidak lagi bisa menyanyikan lagu-lagu nasional kita. Mereka lebih fasih menyanyikan lagu-lagu pop ketimbang lagu-lagu perjuangan yang memupuk semangat nasionalisme. Jangan salahkan anak-anak kita jika mereka lebih menyukai film Ipin-Upin buatan Malaysia daripada sinetron-sinetron anak Indonesia yang hanya menyajikan kekuatan-kekuatan aneh, mahluk-mahluk konyol, serta pembodohan dan hal-hal tak masuk akal lainnya.

Mengapa film-film yang mendidik seperti si Unyil atau Jalan Sesama masih sangat sedikit dibanding film-film anak tak bermutu? Karena memang kebanyakan produser film dan lagu hanya memikirkan segi keuntungan daripada nilai-nilai moral dan nasionalisme yang harus disampaikan kepada anak-anak. Sebagai hasilnya, anak anak kita tumbuh menjadi generasi Naruto, generasi 1 Piece, generasi Sponge Bob, atau generasi Ipin-Upin yang hampir tidak lagi mengenal identitasnya sebagai anak Indonesia.

Saat menonton berita di TV, wajah "terkini" nasionalisme bangsa kita akan semakin jelas tergambar di depan mata. Jangan bertanya arti nasionalisme kepada sosok semacam GT yang tanpa rasa bersalah tega mengemplang pajak yang terkumpul dari hasil jerih-payah rakyat. Jangan juga bertanya apa arti solidaritas sosial kepada para anggota dewan yang dengan enaknya berlenggang-kangkung mengadakan kunjungan ke sana-sini di saat banyak rakyat miskin yang babak-belur dihajar oleh si Eko (baca: ekonomi). Jangan juga bertanya tentang kepentingan rakyat kepada mereka karena di saat rapat, mereka ternyata lebih memilih tidur atau bolos, bahkan nonton film porno secara sembunyi-sembunyi daripada memikirkan nasib rakyat yang dulu dirangkulnya erat-erat saat kampanye legislatif.

Juga tidak perlu heran jika anda melihat para pembesar parpol yang tidak kebagian "kursi" ramai-ramai mengkritik pemerintah yang dianggapnya tidak becus, seolah mereka lupa bahwa ketika masih duduk di "kursi"nya yang empuk, mereka adalah bagian dari "ketidak-becusan" itu. Jika anda pindah saluran TV, janganlah kaget jika anda melihat mahasiswa fakultas A tawuran dengan mahasiswa fakultas B tanpa alasan yang jelas dan masuk akal, tak ubahnya murid-murid SD di jaman saya sekolah dulu. Jangan lagi kaget jika berita selanjutnya adalah tentang sekelompok pemuda kampung X yang tawuran dengan kelompok pemuda kampung Y hanya gara-gara bersenggolan saat berjoget dalam suatu konser dangdut, seolah mereka lupa bahwa dulu para pemuda dari Sabang sampai Merauke pernah berikrar bahwa mereka adalah SATU BANGSA dan SATU TANAH AIR.  Janganlah heran jika kelak, generasi mendatang akan menginjak-injak sang Merah Putih demi terpuaskannya gaya hidup atau terwujudnya faham yang mereka anggap benar.

Nasionalisme Setelah 65 Tahun Indonesia MerdekaSaya benar-benar tidak bisa membayangkan perasaan para pejuang kemerdekaan (jika masih hidup) yang telah rela meletakkan nyawanya diujung senjata dan berkorban demi sang Merah Putih. Kita seolah tidak lagi mampu menghargai pengorbanan mereka. Bahkan mungkin kita telah lupa bahwa mereka pernah ada, pernah hidup di suatu masa, lalu gugur demi kemerdekaan yang ternyata tidak mampu kita maknai dengan baik.

Ya Allah, ampunilah kami atas ketidak-mampuan kami dalam menghargai dan membalas jasa para pahlawan kami.

Recommended

Mister Guru

A person who won’t read has no advantage over one who can’t read. – Mark Twain

  • Newsletter

    Send me new articles by email