Check Our Latest Update

Soal Reading Bahasa Inggris Ujian Sekolah & VIERA / TOEIC Preparation - Volume 2

Direction: Choose the best answer to the questions Boy : What are you going to do after completing your study? Are you going to the unive...

Home Posts filed under Miscellanous
Showing posts with label Miscellanous. Show all posts
Showing posts with label Miscellanous. Show all posts

March 23, 2014

Efektifkah Hukuman Dalam Menangani Kenakalan Pelajar?

S
aat berbicara tentang kenakalan dan perilaku buruk pelajar sekolah, kita bisa menggunakan "Iceberg Analogy", yaitu menyamakan perilaku pelajar dengan sebuah gunung es di lautan. Di balik kenakalan atau buruknya perilaku yang tampak di permukaan, ada latar belakang yang menjadi dasar mengapa seorang pelajar memilih untuk berperilaku buruk. Di sanalah, seringkali terdapat masalah yang jauh lebih kompleks daripada yang tampak di permukaan.

Efektifkah Hukuman Dalam Menangani Kenakalan Pelajar?

S
ikap dan perilaku pelajar pasti dilatar-belakangi oleh motivasi tertentu. Sebagai contoh, jika seorang pelajar memiliki keyakinan bahwa dia akan lulus apabila rajin belajar, keyakinan itu akan membawanya ke dalam perilaku rajin belajar. Sebaliknya, jika pelajar tersebut beranggapan bahwa dia tidak akan lulus meskipun belajar, atau dia pasti lulus meskipun tidak belajar, maka bisa dipastikan perilaku yang akan dia pilih adalah tidak belajar.

Tujuan di Balik Kenakalan Anak Didik

Rudolf Dreikurs, pendiri dan pimpinan the Community Child Guidance Center of Chicago, berpendapat bahwa "seorang anak dengan perilaku bermasalah adalah anak yang kehilangan rasa percaya diri." Menurut Dreikurs, perilaku buruk pada anak didik disebabkan oleh adanya pemikiran yang salah bahwa dia merasa tidak menjadi bagian dalam kelompok, dan merasa keberadaannya tidak berarti.

Dalam usahanya untuk menemukan "tempat" dan makna eksistensi diri, pemikiran yang salah akan membawanya ke dalam sikap dan perilaku yang salah. Karena itu, sikap dan perilaku yang dipilihnya justru menimbulkan reaksi atau tanggapan yang berlawanan dengan apa yang diinginkannya. Ketika dia ingin menemukan "tempat" serta makna keberadaan diri, perilakunya yang salah justru menimbulkan reaksi penolakan dari orang lain, termasuk guru dan siswa lainnya.

Dalam konsepnya yang disebut Positive Discipline, Dreikurs mengidentifikasi bahwa ada 4 (empat) tujuan atau sasaran di balik kenakalan anak didik, yaitu perhatian, kekuasaan, balas dendam, dan keputus-asaan. Sebagai kompensasi terhadap kegagalan dalam pencarian jati diri, seorang anak akan berusaha mewujudkan keempat hal itu dalam berbagai perilaku yang buruk seperti, usil, suka mengganggu, kasar, semena-mena, suka mencari keributan dan berkelahi, memberontak dan tidak taat pada guru, hingga malas dan tidak mau belajar.

Bantulah, Jangan Sekedar Menghukum

Dengan memahami bahwa kenakalan pelajar hanyalah dampak dari pemikiran dan motivasi yang salah dalam menyikapi kegagalan pencarian jati diri, masihkah kita meyakini bahwa hukuman adalah cara efektif dalam menangani kenakalan pelajar? Hukuman seringkali hanya bersifat memaksakan perubahan perilaku, dan hampir tidak membantu anak didik untuk menemukan apa yang sedang dia cari, yaitu tempat dan makna eksistensi dirinya. Dalam banyak kasus, hukuman bahkan hanya memperparah kekecewaan dan keputus-asaan siswa terhadap sekolah.

Budaya suka menghukum dapat memperburuk kepercayaan anak didik kepada sekolah. Seorang pelajar yang melakukan pelanggaran dan merasa yakin akan dikenai hukuman cenderung untuk berbohong dan menuduh pihak lain sebagai penyebab. Sebaliknya, ketika dia merasa yakin bahwa dia akan dibantu atau dibimbing agar bisa menghentikan perilaku buruknya, maka dia akan jujur dan terbuka tentang latar belakang masalah yang sebenarnya. Hanya ketika anak didik jujur dan terbuka tentang masalah yang sedang dia alami, solusi efektif terhadap permasalahan yang sebenarnya akan bisa dicapai.

Hukuman dengan berbagai bentuknya, termasuk skorsing, mungkin bisa mengubah perilaku, tapi belum tentu mampu menyentuh kesadaran anak didik dan mengubah motivasi mereka ke arah yang positif. Hukuman harus disertai dengan tindakan korektif, termasuk konseling, untuk mengubah pemikiran yang keliru, dan mengarahkan mereka ke dalam pemikiran positif. Pemikiran yang positif akan menghasilkan motivasi yang baik dan secara otomatis akan mendorong pelajar untuk selalu berperilaku baik.

Bimbingan dan konseling yang tepat mampu mengeksplorasi dan menampung pemikiran serta perasaan anak didik, dan memberi peluang besar untuk membantu anak didik dalam memenuhi kebutuhannya terhadap tempat dan pengakuan eksistensi diri. Di sanalah kita bisa membantu siswa bermasalah untuk mengatasi permasalahan yang dialaminya. Ketika seorang anak sudah merasa nyaman dan menemukan tempat bagi dirinya, perilaku buruknya bisa dipastikan tidak akan timbul kembali.

Karena itu, persepsi bahwa setiap pelanggaran wajib dikenai hukuman harus dihilangkan dari dunia pendidikan, terutama sekolah. Pelajar bermasalah lebih membutuhkan bimbingan dan pertolongan daripada sekedar hukuman. Kita harus selalu ingat bahwa kenakalan pelajar timbul dari kegagalan mereka menemukan tempat dan makna bagi keberadaan dirinya. Pesan mereka sebenarnya jelas, bahwa mereka hanyalah anak-anak yang ingin menemukan tempat yang nyaman dimana keberadaan mereka diakui dan menjadi berarti.

February 24, 2014

Haruskah Penegakan Disiplin Sekolah Mengabaikan Hati Nurani?

Hati Nurani dalam Penegakan Disiplin Sekolah

S
uatu pagi, ketika Ujian Sekolah Produktif untuk pelajar kelas XII SMK akan segera dimulai, seorang siswi tidak diperbolehkan memasuki gerbang sekolah karena seragam yang dikenakannya salah. Dia mengenakan baju Pramuka, lupa bahwa sehari sebelumnya telah ada pemberitahuan bahwa hari itu seluruh siswa harus mengenakan baju batik.

Dengan alasan penegakan disiplin sekolah, dia diharuskan pulang dan berganti baju. Meskipun sudah mencoba bernegosiasi, dia tetap tidak berhasil mendapatkan ijin masuk dan mengikuti ujian. Sedangkan Ayahnya yang mengantarnya ke sekolah sudah berangkat bekerja dan tidak mungkin kembali mengantarkannya pulang. Jika harus naik angkutan umum, dia harus berganti kendaraan sebanyak 3 kali untuk mencapai rumahnya yang berjarak kurang-lebih 7 kilometer dari sekolah. Praktis, konsekuensi penegakan disiplin yang harus diterimanya adalah tidak bisa mengikuti ujian hari itu karena ujian akan segera dimulai.

Karena keinginannya yang besar untuk bisa mengikuti ujian, siswi tersebut memilih tidak pulang dan menunggu di depan pintu gerbang hingga ujian selesai. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya selain berdiri di depan gerbang sekolah. Beruntung, setelah beberapa saat berdiri di depan pintu gerbang sekolah, seorang Guru yang lain mengijinkannya masuk dan mengikuti ujian. Meskipun pada akhirnya siswi tersebut diijinkan masuk sekolah, ada beberapa hal yang cukup membuat kita prihatin dengan kejadian tersebut.

Berikan Tindakan Korektif Secara Wajar, Proporsional, dan Mendidik.

Kesalahan memakai seragam umumnya bukanlah hal yang sengaja dilakukan oleh seorang siswa. Pasti ada alasan lain misalnya lupa, tidak memiliki seragam, atau seragam yang harus dikenakan tiba-tiba hilang atau sedang dicuci. Mereka justru akan merasa malu jika harus seorang diri mengenakan seragam yang berbeda dengan siswa lainnya.

Karena itu, sebelum menentukan sanksi atau tindakan korektif yang akan diberikan, akan terasa lebih bijak jika kita bersedia mencari tahu apa penyebabnya. Apakah disengaja atau tidak? Dari situ, kita bisa menentukan tindakan korektif terbaik yang harus diberikan terhadap pelanggaran tersebut.

Begitu juga dalam menangani kasus siswa yang terlambat. Tidak semua keterlambatan siswa disebabkan oleh kelalaian atau ketidak disiplinan mereka, kecuali jika terjadi secara terus-menerus. Acapkali keterlambatan siswa disebabkan oleh hal-hal diluar kekuasaan mereka, seperti kemacetan, kecelakaan, harus melakukan suatu kewajiban, atau diminta membantu guru lain. Haruskah kita sebagai para pendidik menghukum seorang siswa yang terlambat datang ke sekolah karena dia harus menolong seorang korban kecelakaan di jalan? Jika memang demikian, hati nurani siapa yang lebih hidup, dan hati nurani siapa yang sudah mati?

Hargailah Kepentingan dan Hak Anak Didik

Sekolah seharusnya menjadi tempat mendidik yang nyaman, bukan tempat yang penuh ancaman dan menakutkan. Setiap pelanggaran harus disikapi dengan bijak, dan diberikan tindakan korektif yang mendidik, bukan sekedar hukuman yang menghukum. Seburuk apapun sikap dan perilaku siswa, mereka adalah individu yang harus kita hargai dan berhak mendapatkan pendidikan.

Melarang siswa masuk kelas atau sekolah hanya karena salah seragam atau terlambat 5-10 menit seringkali bukanlah tindakan korektif yang terbaik dan tepat. Ketika anak didik lebih suka melakukan kegiatan lain daripada mengikuti kegiatan belajar di sekolah, maka larangan masuk kelas atau masuk sekolah tidak memiliki muatan pendidikan apapun selain sekedar "hukuman". Sedangkan efek jera yang diharapkan juga tidak tercapai.

Di satu sisi, larangan masuk kelas atau masuk sekolah juga akan menghilangkan kesempatan anak didik untuk mengikuti kegiatan di sekolah. Demi penegakan disiplin, hak mereka untuk mendapatkan pendidikan tidak terpenuhi. "Niat" untuk datang ke kelas atau sekolah pun menjadi seperti tidak dihargai, padahal itu masih jauh lebih baik daripada membolos dengan berbagai macam alasan.

Bukankah masih banyak tindakan korektif yang bisa dilakukan tanpa harus merugikan kepentingan dan hak anak didik? Di beberapa negara lain, siswa yang terlambat atau salah seragam tidak disuruh pulang. Pelanggaran yang dilakukan oleh siswa ditangani di dalam lingkup sekolah sebagai bukti bahwa pihak sekolah mampu memberikan penanganan dan solusi, kecuali jika memang memerlukan penanganan lanjutan dari pihak berwenang di luar sekolah. Orang-tua pun tidak selalu harus tahu, kecuali jika penanganan masalah membutuhkan kerja-sama dengan pihak orang-tua.

Jika suatu pelanggaran dilakukan terus-menerus atau semakin memburuk, pendekatan konsultatif akan diberikan, bukan tindakan represif, bukan hukuman. Siswa akan diberitahu tentang konsekuensi dan kerugian akibat pelanggaran mereka. Siswa benar-benar diperlakukan sebagai individu yang juga harus dihargai. Ketika konsultasi telah menyentuh akar penyebab pelanggaran hingga menghasilkan solusi, bisa dipastikan pelanggaran itu tidak akan terulang. Dengan demikian, secara tidak langsung siswa sudah dididik agar selalu penuh pertimbangan dan tidak terlalu kaku dalam menghadapi suatu permasalahan, serta senantiasa mendengarkan hati nurani dan menghargai orang lain.

Akan tetapi, larangan masuk masih menjadi tindakan yang cenderung dipilih oleh para pendidik di negara kita. Mungkin karena tindakan itu paling praktis dan paling mudah untuk diberikan, tanpa harus repot-repot melakukan pendekatan konsultatif, serta mengesankan sikap "tegas" dalam menegakkan peraturan dan disiplin sekolah. Tidak akan ada siswa terlambat atau salah seragam, mungkin karena mereka takut dan lebih memilih untuk membolos daripada harus menghadapi hukuman. Sekolah pun akan menjadi "seperti yang diharapkan", tak ubahnya barak militer yang menjunjung tinggi kedisiplinan dan keselarasan, tanpa menyisakan ruang bagi hati nurani dalam menindak pelaku pelanggaran. Seperti itukah yang kita harapkan?

Peraturan memang harus dipatuhi, dan disiplin juga harus ditegakkan. Namun ketika penegakan disiplin dilakukan dengan mengesampingkan hati nurani, maka paradigma pendidikan karakter dan budi pekerti hanya akan menjadi sebuah ironi.

June 21, 2012

Mister Guru in Top ESL Blog Award

Mister Guru is the 8th Finalist of Top ESL Blog Award
Beberapa hari lalu, Mister Guru menerima email dari ecollegefinder.org yang mengabarkan bahwa blog ini telah dinominasikan sebagai salah satu blog ESL (English as Second Language) terbaik dalam ajang "Top ESL Blog Award". Ini benar-benar diluar perkiraan Mister Guru yang nge-blog murni hanya untuk berbagi ilmu dan membantu mereka yang ingin belajar bahasa Inggris. Jangankan menang, masuk sebagai nominee saja Mister Guru sudah bersyukur banget. :D

Dalam ajang Top ESL Blog Award, Mister Guru harus bersaing dengan banyak blog lainnya untuk mendapatkan voting sebanyak mungkin dari publik agar bisa masuk dalam peringkat 3 (tiga) besar. Setelah masa voting berakhir, 3 (tiga) blog dengan voting terbanyak akan diumumkan di blog milik eCollegeFinder dan situs Language Magazine. Pemenang dan finalis akan berhak mendapat badge Top ESL Blogs Award sebagai simbol atas prestasi mereka. So, lupakan traktiran jika menang karena tidak ada hadiah berupa uang. :)

Top ESL Blog Award diberikan oleh eCollegeFinder yang bekerja-sama dengan Language Magazine untuk blog-blog ESL terbaik, yang diperuntukkan bagi mereka yang mengajar atau belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, serta mereka yang sedang mengejar gelar TESOL. Blog-blog pemenang akan dijadikan sebagai referensi bagi para pembaca yang ingin memperluas pengalaman mengajar dan belajar mereka.

Naah, untuk itu, Mister Guru butuh bantuan para pembaca sekalian untuk ikut memberikan suara dan mendukung Mister Guru dalam voting ini. Jika berkenan, kunjungi http://blog.ecollegefinder.org/esl-blogs-award/ lalu pilih Mister Guru. Suara anda akan sangat membantu dan untuk itu, Mister Guru mengucapkan terima kasih.

May 26, 2012

Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif)

Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif)

Apakah Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)?

Pembelajaran kooperatif (Cooperative learning) adalah suatu strategi pembelajaran berdasarkan paham konstruktivis dimana siswa dikelompokkan dalam kelompok-kelompok kecil beranggotakan 4-5 siswa dengan tingkat kemampuan yang berbeda, melakukan berbagai macam kegiatan belajar untuk memudahkan siswa dalam menguasai suatu mata pelajaran. Masing-masing anggota tim tidak hanya memiliki tanggung-jawab untuk belajar dan mempelajari apa yang sedang diajarkan, tapi juga harus membantu rekan sekelompok dalam belajar. Suatu kelompok bisa dikatakan belum tuntas menguasai suatu materi jika masih ada salah satu anggota belum menguasai materi tersebut.

Unsur-unsur Dasar Pembelajaran Kooperatif

Unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut (Lungdren, 1994)
  1. Adanya persepsi bahwa keberhasilan atau kegagalan kelompok berarti keberhasilan atau kegagalan bersama.
  2. Rasa tanggung-jawab terhadap siswa lain dalam kelompoknya, dan tanggung-jawab terhadap diri sendiri.
  3. Pandangan bahwa semua memiliki tujuan yang sama.
  4. Adanya pembagian tugas dan tanggung-jawab antara para anggota kelompok.
  5. Evaluasi siswa berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.
  6. Kesempatan berbagi kepemimpinan antar anggota kelompok.
  7. Ketrampilan bekerja-sama selama proses pembelajaran.
  8. Setiap siswa akan diminta untuk mempertanggung-jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Menurut Thomson, et al. (1995), dalam kelompok kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu dengan yang lain. Kelompok-kelompok kecil tersebut beranggotakan 4-6 siswa dengan kemampuan yang heterogen, juga jenis kelamin, dan suku. Heterogenitas ini bermanfaat untuk melatih siswa dalam menerima perbedaan serta bekerja sama dengan teman yang memiliki latar belakang berbeda.

Pembelajaran kooperatif mengajarkan ketrampilan-ketrampilan khusus agar siswa dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik. Selama kerja kelompok, siswa mendapat lembar kegiatan berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan, dan tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan belajar. (Slavin, 1995)

Mengapa Harus Pembelajaran Kooperatif

Berbagai hasil penelitian telah membuktikan adanya perkembangan dan peningkatan hasil belajar melalui pembelajaran kooperatif. Diantaranya adalah meningkatnya prestasi akademis, perbaikan perilaku, peningkatan kehadiran siswa, peningkatan rasa percaya diri dan motivasi belajar siswa, serta bertambahnya rasa suka terhadap sekolah dan teman-teman sekelas. Disamping itu, pembelajaran kooperatif relatif mudah diterapkan dan tidak membutuhkan biaya besar.

May 10, 2012

Teaching English for Children and Adults

Teaching English for Children and Adults

T
he English language has become the most important second language of all in many countries worldwide. Everyone uses this language for many purposes, one of which is education. When we are talking about English language education, we also relate to how the English language is taught. Nowadays, learning English language is not only for adults, but also for children. However, both children and adults have different aspects in learning English. In this essay, the writer will discuss the different aspects of teaching English for adults and children with respect to the ability of acquiring second language, the materials, and the teaching method.

The first different aspect discussed is the different ability of acquiring second language. For children, learning English as their second language besides the mother language is pretty easy to do. According to some researches, children are able to gain the second language starting from about 5 until 12 years, which is often referred to as the golden age period. We will be easier to introduce children of those ages to the second language, including English. On the other hand, adults have the weakness in acquiring the second language maximally. It is because they already have passed the golden age period, of course. Perhaps, adults who have the capability of learning English naturally will not face any kind of difficulties but for those who don’t, learning English is quite difficult. Due to the less ability of acquiring the second language, teaching English for adults needs certain methods in order to be successful.

The second different aspect in English teaching for children and adults is related to the materials. The materials of teaching English are determined by the different level of ages. In teaching children, teachers have to be able to provide the materials simply and easily. Just because the children’s second language acquisition is better than adults, it does not mean teachers are allowed to give children as complex materials as those for adults. For children, the materials needed should be simple and meaningful. Usually, children are introduced to some simple expressions such as greetings or self-introduction. They can also be introduced to some simple vocabularies or nouns like animals, colors, parts of body, jobs, and so on. Different from that for children, English material for adults is more difficult. For adults, given materials are used in daily life context or for communication. As teachers, they can provide the materials about the job interview conversation, speech, debate, retell the experience, or another topic which aim at increasing their communication skill in daily life context.

The different teaching method of teaching English for children and adults is the last contrasting point which is discussed in this essay. In teaching children, the ability of getting their attention is required for teachers. As teachers, they have to deliver the materials in a unique and fun way. The fun learning method is an essential thing in teaching English at this stage of age. Mostly, children tend to be interested in playing and doing something with fun. Those are the keys for teachers to always give the materials in some interesting yet still meaningful ways. In addition, teaching children needs patience and awareness to grab them without making them feel disappointed or being ignored. Patience is related to how the teachers can get the students’ attention effectively. The less they can pay the attention to teachers, the more patience is needed for teachers. On the other hand, some interesting ways to teach English for adults is also required. The different is on how the teacher’s performance in teaching them. At this level, teachers have to be more skillful and capable of delivering the materials because the materials are quite difficult and useful for adults’ communication skill. In speaking, teachers should be more fluent because they are considered as the role-models for the students. Serious but fun ways can be applied to adults when they learn the English language. Teachers can be their facilitator and motivator for them. It will bring positive impacts on adults’ skill and comprehension of using this second language.

Teaching English for children and adults have different points which have to be recognized by the teachers. The different abilities of acquiring the second language, the given materials, and the teaching methods are some aspects which have to be paid serious attention by teachers. Teaching English is an amusing thing if we, as teachers, know whom we are teaching and how to deliver the knowledge effectively and efficiently.

Contributed by Monica Reinca Larasaty for Mister Guru.

May 08, 2012

Pembelajaran Kelas Menggunakan Video

Pembelajaran Kelas Menggunakan Video

S
ebuah penelitian guru baru-baru ini menemukan bahwa lebih dari 90% guru kelas telah menggunakan video secara efektif dalam pembelajaran dan telah membuktikan bahwa penggunaan video dalam pembelajaran kelas mampu menjadi pendukung kurikulum yang efektif dan dinamis. Sebagian besar dari mereka bahkan sering menggunakan video, dengan frekuensi rata-rata sekali setiap minggu.

A. Manfaat Video Dalam Pembelajaran:

Mengapa video semakin sering digunakan dalam pembelajaran? Tujuannya adalah agar para guru sebagai pendidik salah satunya adalah membuat siswa merasa bersemangat dan terlibat dalam pengalaman belajar praktis. Video merupakan sebuah media pembelajaran yang mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Kemampuan video dalam melibatkan penglihatan dan pendengaran menjadikannya media yang sangat tepat bagi pelajar yang berkarakteristik pembelajar visual atau auditorial. Video juga mampu menangkap dan melibatkan emosi positif yang dapat merangsang gairah belajar siswa. Video merupakan sarana belajar yang efektif dan inovatif bagi para guru dalam menjelaskan konsep-konsep tertentu dalam pembelajaran.

Bayangkan suasana kelas dimana siswa dapat secara langsung mendengarkan suara jeritan spesies satwa yang hampir punah, sekaligus melihat warna tubuh mereka, atau mendengar suara binatang yang hanya hidup jauh di alam liar di belahan bumi yang lain. Bayangkan juga pembelajaran yang melibatkan suara asli para tokoh terkenal dari masa lampau, tokoh-tokoh yang tercatat dalam sejarah, tokoh-tokoh politik, dan orang-orang terkenal lainnya yang hidup berabad-abad yang silam. Begitu pula pembelajaran tentang hukum gerak, suara, serta perpindahan energi akan menjadi lebih menyenangkan jika guru menayangkan film video peluncuran pesawat ulang-alik dalam perjalanannya menuju ke angkasa luar. Dalam mempelajari kebudayaan, siswa akan dapat lebih mudah memahami perbedaan budaya masyarakat yang tinggal di belahan dunia lainnya jika mereka melihatnya secara langsung pada lingkungan mereka sendiri, sekaligus mendengarkan nyanyian mereka, mengamati ritual-ritual kepercayaan mereka. Dengan bimbingan guru dan penyajian yang tepat, video mampu memberikan pengalaman indrawi yang menjadikan konsep mudah untuk dirasakan secara nyata dan dipahami.

Pengalaman membuktikan bahwa semakin besar keterlibatan siswa dalam pembelajaran, semakin interaktif pembelajaran di kelas, maka semakin besar pula ketertarikan dan daya serap siswa terhadap pelajaran. Akan semakin banyak hal-hal yang bisa dipelajari dan diingat oleh siswa. Sebagai media yang sangat fleksibel, video bisa menjadi sarana pembelajaran interaktif. Video memungkinkan untuk dihentikan, dimulai, atau diulang kapanpun dibutuhkan. Anda bisa menghentikan tayangan video lalu meminta siswa untuk memprediksi hasil atau akibat dari suatu hal, atau mendiskusikan, atau berdebat tentang suatu referensi sejarah. Anda bisa memutar ulang suatu bagian tertentu dari tayangan video untuk menambahkan suatu penjelasan atau memutar bagian tersebut dalam gerakan lambat untuk memastikan bahwa siswa memahami suatu konsep penting. Di samping itu, pembelajaran dengan video akan menjadi semakin interaktif dengan cara menirukan kegiatan dalam film, workshop, demonstrasi serta eksperimen di dalam lingkungan kelas.


B. Pembelajaran Dengan Menggunakan Video Secara Efektif

Suatu riset baru-baru ini menunjukkan bahwa cara paling efektif dalam menggunakan video untuk pembelajaran adalah sebagai peningkatan kualitas pembelajaran atau suatu unit pembelajaran. Video sebaiknya digunakan sebagai suatu elemen pembelajaran bersama dengan sumber atau bahan pembelajaran lainnya yang anda miliki. Dalam mengajar suatu topik, penggunaan video di dalam kelas harus dipersiapkan dengan baik sebagaimana media pembelajaran atau alat peraga lainnya. Tujuan pembelajaran khusus harus ditentukan, begitu juga langkah-langkah pembelajaran serta kegiatan pemantapan harus direncanakan dengan baik. Yang tidak kalah pentingnya adalah semua video yang akan dipergunakan dalam pembelajaran harus dikaji dulu oleh guru, agar benar-benar sesuai dengan kebutuhan pembelajaran.

October 14, 2011

Masih Ndesokah "Ndeso"?

Sebutan Ndeso - Stigma Yang Kontra ProduktifPernah mendengar istilah "ndeso", alias "ndesit"? Istilah berbau diskriminatif yang bermakna "dari desa" atau "seperti orang desa" ini pernah populer pada dekade 1980-an. Belakangan, istilah "ndeso" menjadi populer lagi setelah seorang pelawak terkenal muncul dalam sebuah iklan terbaru penyedia layanan telekomunikasi di televisi. Dalam iklan tersebut, sang pelawak dengan nada mencemooh mengatakan "ndeso" kepada mereka yang belum tahu tentang internet. Tidak cukup di situ, tayangan iklan tersebut ditutup dengan kata-kata "Yang punya rumah ini artis! Mukamu ndeso!". Entah apa maksud mereka dengan kata "ndeso". Yang jelas iklan tersebut memberikan kesan bahwa istilah "ndeso" memiliki konotasi negatif, yaitu semacam gaptek, atau ketinggalan jaman.

Masih "Ndeso"kah "Ndeso"?

Berbicara tentang istilah "desa", pasti kita akan membayangkan suatu daerah atau wilayah yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Lingkungan pedesaan identik dengan lingkungan yang masih alami dan hanya sedikit tersentuh oleh pembangunan, dengan penduduk yang hidup dalam keluguan, kesederhanaan, dan kekeluargaan yang jarang kita temui pada masyarakat perkotaan.

Dulu, sebelum hasil pembangunan dan kemajuan dibidang teknologi informasi menyentuh wilayah pedesaan, keterbatasan akses terhadap pengetahuan dan informasi membuat masyarakat pedesaan sangat jauh tertinggal dibanding masyarakat perkotaan. Tidaklah mengherankan jika masyarakat pedesaan saat itu diidentikkan sebagai masyarakat yang lekat dengan keluguan dan kebodohan, tertinggal dan terbelakang dalam hal pengetahuan dan informasi.

Sebutan Ndeso - Stigma Yang Kontra ProduktifKini, jaman sudah banyak berubah. Pembangunan infrastruktur dan perkembangan teknologi informasi telah membuat wajah pedesaan di Indonesia telah banyak berubah. Kita sering mendengar istilah "desa net", "desa internet", atau "cyber village", di mana penduduknya secara bergotong-royong membuat server wifi agar masyarakat sekitar bisa mengakses internet. Kehadiran internet hingga ke pelosok wilayah pedesaan membuat masyarakat pedesaan tidak lagi terisolir dari ilmu pengetahuan dan informasi. Dalam hal pendidikan, kualitas sekolah-sekolah pedesaan di masa sekarang juga sudah bisa disejajarkan dengan sekolah di daerah perkotaan.

Memang, seiring berkembangnya peradaban, perbedaan antara desa dan kota sudah tidak lagi sejelas dulu. Pengertian dan karakteristik yang mendefinisikan istilah "desa" menjadi sulit untuk diberlakukan di era seperti sekarang ini di mana hasil pembangunan serta akses terhadap ilmu pengetahuan dan informasi tidak lagi menjadi monopoli masyarakat perkotaan. Hubungan yang erat antara perkembangan kota dengan desa-desa di sekitarnya telah menciptakan kondisi yang sangat beragam antara satu desa dengan desa lainnya sehingga berbagai pengertian ilmiah untuk mendefinisikan istilah "desa" tidak lagi dapat diterapkan secara menyeluruh untuk desa-desa di Indonesia.

Dengan demikian, stigmatisasi "ndeso" bagi orang yang kurang up-to-date dalam hal pengetahuan rasanya sudah tidak tepat lagi. Di jaman sekarang, tidak sedikit masyarakat pedesaan memiliki tingkat kesejahteraan, pendidikan, wawasan, dan pengetahuan yang setara, bahkan lebih, dibandingkan dengan masyarakat perkotaan, terutama di pedesaan-pedesaan pulau Jawa.

Jika istilah "ndeso" adalah sebutan bagi orang yang gaptek, maka banyak juga orang kota yang layak disebut "Ndeso" karena kegaptekan mereka, yang meskipun tinggal di area perkotaan namun kurang cukup beruntung untuk bisa menikmati kemajuan teknologi karena faktor ekonomi. Jadi, tidak manusiawi rasanya jika label "ndeso" ditujukan kepada orang-orang yang tidak cukup beruntung untuk bisa menikmati kemajuan teknologi.


Dampak Stigmatisasi "Ndeso"

Di saat pemerintah tengah berjuang untuk mengangkat dan memberdayakan masyarakat pedesaan, pemberian julukan atau stigmatisasi "ndeso" ini bisa menjadi simbol pelecehan terhadap "wong ndeso' dan dapat membawa dampak yang kontra-produktif. Labelling "ndeso" hanya akan memperparah ketidakpahaman tentang masyarakat pedesaan dan mempersempit sudut pandang terhadap "wong ndeso". Mereka yang berasal dari pedesaan, atau yang dijuluki "ndeso" mungkin akan merasa minder, malu, dan takut dianggap "ndeso". Bagi pelakunya, stigma 'ndeso' dapat menjerumuskan mereka ke dalam sikap diskriminatif terhadap "wong ndeso", yang bersumber dari ketidakpercayaan serta pemahaman yang salah bahwa orang desa selalu lebih bodoh dan terbelakang daripada orang kota.

Karena itu, sudah saatnya kita hentikan stigma 'Ndeso" terhadap orang yang kita anggap out-of-date, lebih bodoh dan tertinggal daripada kita. Mari kita hapus semua labelling yang berbau keterbelakangan yang selama ini identik dengan masyarakat pedesaan. Mengapa? Karena "Ndeso" bisa jadi tak lagi se'Ndeso" yang kita bayangkan.

Salam dari wong Ndeso :) Updated Oct 17, 2011