Pernah mendengar istilah "ndeso", alias "ndesit"? Istilah berbau diskriminatif yang bermakna "dari desa" atau "seperti orang desa" ini pernah populer pada dekade 1980-an. Belakangan, istilah "ndeso" menjadi populer lagi setelah seorang pelawak terkenal muncul dalam sebuah iklan terbaru penyedia layanan telekomunikasi di televisi. Dalam iklan tersebut, sang pelawak dengan nada mencemooh mengatakan "ndeso" kepada mereka yang belum tahu tentang internet. Tidak cukup di situ, tayangan iklan tersebut ditutup dengan kata-kata "Yang punya rumah ini artis! Mukamu ndeso!". Entah apa maksud mereka dengan kata "ndeso". Yang jelas iklan tersebut memberikan kesan bahwa istilah "ndeso" memiliki konotasi negatif, yaitu semacam gaptek, atau ketinggalan jaman.
Dulu, sebelum hasil pembangunan dan kemajuan dibidang teknologi informasi menyentuh wilayah pedesaan, keterbatasan akses terhadap pengetahuan dan informasi membuat masyarakat pedesaan sangat jauh tertinggal dibanding masyarakat perkotaan. Tidaklah mengherankan jika masyarakat pedesaan saat itu diidentikkan sebagai masyarakat yang lekat dengan keluguan dan kebodohan, tertinggal dan terbelakang dalam hal pengetahuan dan informasi.
Kini, jaman sudah banyak berubah. Pembangunan infrastruktur dan perkembangan teknologi informasi telah membuat wajah pedesaan di Indonesia telah banyak berubah. Kita sering mendengar istilah "desa net", "desa internet", atau "cyber village", di mana penduduknya secara bergotong-royong membuat server wifi agar masyarakat sekitar bisa mengakses internet. Kehadiran internet hingga ke pelosok wilayah pedesaan membuat masyarakat pedesaan tidak lagi terisolir dari ilmu pengetahuan dan informasi. Dalam hal pendidikan, kualitas sekolah-sekolah pedesaan di masa sekarang juga sudah bisa disejajarkan dengan sekolah di daerah perkotaan.
Memang, seiring berkembangnya peradaban, perbedaan antara desa dan kota sudah tidak lagi sejelas dulu. Pengertian dan karakteristik yang mendefinisikan istilah "desa" menjadi sulit untuk diberlakukan di era seperti sekarang ini di mana hasil pembangunan serta akses terhadap ilmu pengetahuan dan informasi tidak lagi menjadi monopoli masyarakat perkotaan. Hubungan yang erat antara perkembangan kota dengan desa-desa di sekitarnya telah menciptakan kondisi yang sangat beragam antara satu desa dengan desa lainnya sehingga berbagai pengertian ilmiah untuk mendefinisikan istilah "desa" tidak lagi dapat diterapkan secara menyeluruh untuk desa-desa di Indonesia.
Dengan demikian, stigmatisasi "ndeso" bagi orang yang kurang up-to-date dalam hal pengetahuan rasanya sudah tidak tepat lagi. Di jaman sekarang, tidak sedikit masyarakat pedesaan memiliki tingkat kesejahteraan, pendidikan, wawasan, dan pengetahuan yang setara, bahkan lebih, dibandingkan dengan masyarakat perkotaan, terutama di pedesaan-pedesaan pulau Jawa.
Jika istilah "ndeso" adalah sebutan bagi orang yang gaptek, maka banyak juga orang kota yang layak disebut "Ndeso" karena kegaptekan mereka, yang meskipun tinggal di area perkotaan namun kurang cukup beruntung untuk bisa menikmati kemajuan teknologi karena faktor ekonomi. Jadi, tidak manusiawi rasanya jika label "ndeso" ditujukan kepada orang-orang yang tidak cukup beruntung untuk bisa menikmati kemajuan teknologi.
Karena itu, sudah saatnya kita hentikan stigma 'Ndeso" terhadap orang yang kita anggap out-of-date, lebih bodoh dan tertinggal daripada kita. Mari kita hapus semua labelling yang berbau keterbelakangan yang selama ini identik dengan masyarakat pedesaan. Mengapa? Karena "Ndeso" bisa jadi tak lagi se'Ndeso" yang kita bayangkan.
Salam dari wong Ndeso :) Updated Oct 17, 2011
Masih "Ndeso"kah "Ndeso"?
Berbicara tentang istilah "desa", pasti kita akan membayangkan suatu daerah atau wilayah yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Lingkungan pedesaan identik dengan lingkungan yang masih alami dan hanya sedikit tersentuh oleh pembangunan, dengan penduduk yang hidup dalam keluguan, kesederhanaan, dan kekeluargaan yang jarang kita temui pada masyarakat perkotaan.Dulu, sebelum hasil pembangunan dan kemajuan dibidang teknologi informasi menyentuh wilayah pedesaan, keterbatasan akses terhadap pengetahuan dan informasi membuat masyarakat pedesaan sangat jauh tertinggal dibanding masyarakat perkotaan. Tidaklah mengherankan jika masyarakat pedesaan saat itu diidentikkan sebagai masyarakat yang lekat dengan keluguan dan kebodohan, tertinggal dan terbelakang dalam hal pengetahuan dan informasi.
Kini, jaman sudah banyak berubah. Pembangunan infrastruktur dan perkembangan teknologi informasi telah membuat wajah pedesaan di Indonesia telah banyak berubah. Kita sering mendengar istilah "desa net", "desa internet", atau "cyber village", di mana penduduknya secara bergotong-royong membuat server wifi agar masyarakat sekitar bisa mengakses internet. Kehadiran internet hingga ke pelosok wilayah pedesaan membuat masyarakat pedesaan tidak lagi terisolir dari ilmu pengetahuan dan informasi. Dalam hal pendidikan, kualitas sekolah-sekolah pedesaan di masa sekarang juga sudah bisa disejajarkan dengan sekolah di daerah perkotaan.
Memang, seiring berkembangnya peradaban, perbedaan antara desa dan kota sudah tidak lagi sejelas dulu. Pengertian dan karakteristik yang mendefinisikan istilah "desa" menjadi sulit untuk diberlakukan di era seperti sekarang ini di mana hasil pembangunan serta akses terhadap ilmu pengetahuan dan informasi tidak lagi menjadi monopoli masyarakat perkotaan. Hubungan yang erat antara perkembangan kota dengan desa-desa di sekitarnya telah menciptakan kondisi yang sangat beragam antara satu desa dengan desa lainnya sehingga berbagai pengertian ilmiah untuk mendefinisikan istilah "desa" tidak lagi dapat diterapkan secara menyeluruh untuk desa-desa di Indonesia.
Dengan demikian, stigmatisasi "ndeso" bagi orang yang kurang up-to-date dalam hal pengetahuan rasanya sudah tidak tepat lagi. Di jaman sekarang, tidak sedikit masyarakat pedesaan memiliki tingkat kesejahteraan, pendidikan, wawasan, dan pengetahuan yang setara, bahkan lebih, dibandingkan dengan masyarakat perkotaan, terutama di pedesaan-pedesaan pulau Jawa.
Jika istilah "ndeso" adalah sebutan bagi orang yang gaptek, maka banyak juga orang kota yang layak disebut "Ndeso" karena kegaptekan mereka, yang meskipun tinggal di area perkotaan namun kurang cukup beruntung untuk bisa menikmati kemajuan teknologi karena faktor ekonomi. Jadi, tidak manusiawi rasanya jika label "ndeso" ditujukan kepada orang-orang yang tidak cukup beruntung untuk bisa menikmati kemajuan teknologi.
Dampak Stigmatisasi "Ndeso"
Di saat pemerintah tengah berjuang untuk mengangkat dan memberdayakan masyarakat pedesaan, pemberian julukan atau stigmatisasi "ndeso" ini bisa menjadi simbol pelecehan terhadap "wong ndeso' dan dapat membawa dampak yang kontra-produktif. Labelling "ndeso" hanya akan memperparah ketidakpahaman tentang masyarakat pedesaan dan mempersempit sudut pandang terhadap "wong ndeso". Mereka yang berasal dari pedesaan, atau yang dijuluki "ndeso" mungkin akan merasa minder, malu, dan takut dianggap "ndeso". Bagi pelakunya, stigma 'ndeso' dapat menjerumuskan mereka ke dalam sikap diskriminatif terhadap "wong ndeso", yang bersumber dari ketidakpercayaan serta pemahaman yang salah bahwa orang desa selalu lebih bodoh dan terbelakang daripada orang kota.Karena itu, sudah saatnya kita hentikan stigma 'Ndeso" terhadap orang yang kita anggap out-of-date, lebih bodoh dan tertinggal daripada kita. Mari kita hapus semua labelling yang berbau keterbelakangan yang selama ini identik dengan masyarakat pedesaan. Mengapa? Karena "Ndeso" bisa jadi tak lagi se'Ndeso" yang kita bayangkan.
Salam dari wong Ndeso :) Updated Oct 17, 2011