English Teachers = Salespeople

0
English Teachers are Salespeople
P
ara guru bahasa Inggris seringkali menghadapi kendala berupa minimnya minat siswa dalam belajar dan menerapkan keahlian berbahasa Inggris. Banyak siswa yang enggan dan malu ketika mereka diminta untuk berbicara menggunakan bahasa Inggris. Alasan mereka beragam, tapi umumnya adalah adanya perasaan malu dan takut salah. Mungkin tidak berlebihan jika saya menyamakan posisi siswa yang demikian dengan seorang calon pembeli yang enggan membeli suatu produk. Dalam hal ini, posisi guru bahasa Inggris mirip dengan seorang salesman. Mereka harus membuat siswa "membeli" dan mau menggunakan "produk: yang mereka pasarkan, yaitu bahasa Inggris. Pertanyaannya adalah bagaimana seorang guru bahasa Inggris bisa menerapkan strategi seorang salesman saat mengajar? Tujuannya adalah untuk mendorong atau memotivasi siswa agar bersedia memakai "produk yang dijual", yaitu bahasa Inggris?

Layaknya seorang salesman, guru bahasa Inggris memberikan informasi dan mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didiknya. Keduanya harus membuat orang lain percaya terhadap manfaat “produk” kita dan bersedia membeli atau memakainya.

Guru bahasa Inggris dituntut untuk selalu menggunakan bahasa Inggris di depan para siswanya. Dia harus mampu menunjukkan bahwa pemakaian yang benar, mudah, dan aman agar calon pembeli tidak berpikir bahwa produk yang kita jual sulit dan bahkan tidak aman untuk digunakan bagi mereka. Seorang salesman harus memberikan pengalaman visual yang menyenangkan agar calon customer tergerak hatinya untuk membeli produk kita. Singkatnya, calon customer harus percaya terhadap manfaat produk kita.

Persoalannya adalah sudahkah kita, para guru Bahasa Inggris, bertindak sebagaimana seorang salesman dalam menawarkan dan menjual produknya? Apakah kita selalu menggunakan bahasa Inggris di lingkungan sekolah, terlebih di ruangan kelas, agar menjadi teladan yang bisa ditiru oleh murid-murid kita? Sudahkah kita menciptakan situasi belajar yang menyenangkan, yang dapat membantu siswa dalam membangun rasa percaya diri mereka untuk selalu menggunakan bahasa Inggris? Dan sudahkah kita menanamkan pentingnya “produk” kita, yaitu penguasaan bahasa Inggris, di era informasi global ini?

Salah satu penghambat dalam penguasaan bahasa Inggris secara aktif adalah adanya paradigma yang salah bahwa bahasa Inggris hanya bisa dipelajari dan hanya pantas digunakan dalam ruang kelas. Sebagai suatu life-skill, kemampuan berbahasa Inggris harus selalu diasah agar selalu “tajam”. Tidak salah jika banyak yang menggambarkannya dengan ungkapan “It’s just a matter of practice.” Bahwa penguasaan bahasa Inggris sangat tergantung pada latihan. Dengan menggunakan bahasa Inggris dimanapun dan kapanpun, secara tidak langsung guru telah memberikan pengalaman belajar yang berharga, bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang juga bisa dipakai dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, tanpa harus berinteraksi dengan orang asing.

Terkait perlakuan guru kepada murid, ada satu hal yang perlu kita perhatikan. Seringkali saya mendengar keluhan atau pengaduan siswa, bahwa mereka takut melakukan kesalahan dalam berbahasa Inggris, karena takut dihukum atau mendapat sanksi dari guru mereka. Inilah dampak negatif hukuman bagi seseorang yang sedang belajar. Mereka bisa merasa jera dan enggan belajar lagi. Dampak terburuk adalah jika siswa yang bersangkutan merasa putus asa dan trauma dengan bahasa Inggris. Padahal, saat kita belajar berjalan sewaktu masih bayi, atau belajar bersepeda ketika mulai menginjak dewasa, adakah hukuman yang diberikan kepada kita jika kita jatuh? Lalu haruskah kita menghukum atau melontarkan kata-kata yang tidak menyenangkan jika mereka melakukan kesalahan dalam menjawab atau mengucapkan sesuatu hal yang baru bagi mereka? Saya pernah membaca dalam suatu artikel, bahwa beban psikologis terbesar yang dialami oleh murid sekolah bukanlah berasal dari tugas-tugas maupun pekerjaan rumah, melainkan dari perlakuan maupun perkataan guru-guru mereka sendiri. Ungkapan People can reach their full potentials only if they are happy with themselves” patut kita renungkan. Siswa yang berhasil memaksimalkan potensi mereka adalah siswa yang senang dan bahagia dengan keadaannya. Kita harus memahami bahwa setiap individu siswa tercipta dengan kemampuan yang berbeda. Tugas kita sebagai guru adalah membawa kemampuan tersebut ke titik tertinggi sesuai dengan kapasitas dan potensi masing-masing siswa. Kita harus membantu siswa agar mereka memiliki rasa percaya diri untuk berbahasa Inggris. Guru harus mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, yang akan membuat siswa menyukai bahasa Inggris sekaligus merasa dihargai sebagai suatu individu. Suasana belajar yang demikian pada gilirannya akan dapat menumbuhkan minat dan ketertarikan siswa terhadap bahasa Inggris.

Demi keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris, guru juga harus mampu meyakinkan siswa bahwa penguasaan bahasa Inggris adalah suatu hal yang mutlak dibutuhkan dalam hubungan internasional di masa sekarang. Paradigma lama bahwa bahasa Inggris adalah bahasa asing yang dipelajari hanya untuk gengsi atau status sosial telah hilang seiring perkembangan jaman, dan tergeser dengan munculnya paradigma baru, bahwa bahasa Inggris adalah alat yang sangat dibutuhkan dalam komunikasi internasional. Suka maupun tidak suka, bahasa Inggris adalah suatu aspek yang tidak terpisahkan dalam rutinitas bisnis di era sekarang, khususnya di bidang ekspor-impor. Sebagai pengajar bahasa Inggris, kita harus tanggap dan responsif terhadap fenomena tersebut. Selama kita menganggap Bahasa Inggris adalah bahasa asing, maka selama itu pula siswa kita cenderung merasa “asing” dengan bahasa tersebut.

Demikianlah sepenggal catatan yang bisa menjadi bahan renungan bagi rekan-rekan guru bahasa Inggris di Indonesia, termasuk saya pribadi. Semoga catatan kecil ini bisa memberi sedikit pencerahan dalam cara pandang kita sebagai guru, sehingga dapat membawa dampak positif bagi pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia tercinta.

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)